-->

Mengenang Stanley Matthews Peraih Gelar Ballon d'Or Pertama

SAPA (LONDON) - Tidak banyak orang yang bisa mencapai usia lebih dari 100 tahun. Namun menjagokan Stanley Matthews untuk meraih pencapaian tersebut bukan sesuatu yang tidak masuk akal. Gaya hidupnya yang sangat disiplin dan pola makannya yang sangat teratur membuatnya mampu menjalani karier sebagai pemain profesional hingga usia 50 tahun.

Karier sebagai pemain sepakbola profesional yang panjang, pada akhirnya, terbukti bukan acuan untuk usia yang juga panjang. Jika Matthews masih hidup, ia akan merayakan ulang tahunnya yang ke-101 pada hari ini--ia lahir pada 1 Februari 1915. Namun karena Matthews sudah meninggal pada 23 Februari 2000, kita sajalah yang merayakannya.

Sir Stanley Matthews, CBE, memulai karier profesionalnya pada 1932 bersama Stoke City dan mengakhirinya pada 1965 di kesebelasan yang sama. Di antara dua masa bakti untuk Stoke City, Matthews meraih gelar juara Piala FA 1953 bersama Blackpool; sebuah pertandingan dramatis yang Blackpool menangi dengan skor 4-3 setelah tertinggal 1-3. Stan Mortensen mencetak tiga dari empat gol Blackpool namun pertandingan ini dikenal dengan nama the Matthew’s final atas penampilan gemilang Stanley Matthews.

Selain satu gelar juara Piala FA bersama Blackpool, Matthews hanya memenangi dua gelar juara divisi dua bersama Stoke City, dalam dua kesempatan yang terpisah 30 tahun jauhnya: pada musim 1932/33 dan 1962/63. Gelar kolektifnya sedikit, begitu pula dengan gelar pribadinya; namun nilainya besar.

Matthews adalah peraih gelar Ballon d'Or edisi pertama, mengalahkan dua finalis lainnya, Alfredo Di Stéfano dan Raymond Kopa. Dua gelar FWA Footballer of the Year pada 1948 dan 1963, sementara itu, menunjukkan Matthews masih sama baiknya di pertengahan dan akhir kariernya yang sangat panjang.

Di luar prestasi dan penghargaan, Matthews adalah contoh disiplin. Ia sering dirujuk sebagai the first gentleman of football karena belum pernah sekali pun dalam kariernya yang sangat panjang, Matthews menerima kartu kuning atau kartu merah. Gaya hidupnya yang sangat teratur juga menjadi salah satu hal yang paling banyak disinggung ketika pembicaraan mengenai Matthews mengemuka.

Pisau Bermata Dua

"Matthews mengajari kita cara bermain sepakbola," kata Pelé. Sebuah pujian dari seorang ahli menggiring bola untuk ahli menggiring bola lainnya. Stanley Matthews dijuluki Wizard of the Dribble berkat kemampuannya mengendalikan bola dengan kedua kakinya. Arthur Hopcraft, dalam The Football Man (2006), menulis: "Matthews tidak menemukan dribbling bola; ia mengangkatnya ke derajat paling tinggi."
Matthews adalah Wizard of the Dribble karena kemampuannya mengubah arah seringkali membuat lawan mati langkah. Sir Bobby Charlton pernah berkata bahwa Matthews bisa mengalahkan siapa saja tanpa harus berusaha. Para lawan, menurut Charlton, sudah kalah begitu Matthews berlari ke arah mereka. "Jangan tanya aku cara melakukannya," ujar Matthews. "Itu terjadi begitu saja di bawah tekanan."

Ia hanya merendah. Jauh dalam hatinya Matthews tahu bahwa kemampuan yang ia miliki adalah buah dari waktu yang tak terhitung jumlahnya, yang ia gunakan untuk mengasah kemampuan sejak masih berusia muda. "Saya suka memainkan bola kecil," ujarnya berkisah. "Saya bahkan biasa datang ke tukang daging dan meminta kandung kemih babi, membuatnya mengembang, dan bermain dengannya. Sering saya bermain di kegelapan malam mengandalkan cahaya dari lampu jalanan. Saya menikmatinya."

Kemampuan Matthews menggiring bola tidak hanya memudahkannya dalam pertandingan, namun juga menguntungkan kesebelasan secara finansial. Matthews dan kemampuannya menggiring bola adalah jaminan penjualan tiket. BBC mengklaim, kehadiran Matthews dalam pertandingan adalah jaminan untuk 10.000 tiket tambahan. Ketika Matthews kembali ke Stoke City pada 1961, rataan jumlah penonton meningkat dari 9.000 ke 36.000. Bukan hanya pendukung kesebelasannya sendiri yang menyukai Matthews; para pendukung lawan tidak ragu secara verbal menyerang pemain mereka sendiri jika pemain yang bersangkutan menyakiti Matthews.

Selain ahli menggiring bola, Matthews paham benar cara menjaga performa. Pada 15 Mei 1957 Matthews menorehkan rekor sebagai pemain tertua Tim Nasional Inggris, 42 tahun 103 hari. Pertandingan terakhirnya sebagai pemain profesional ia jalani pada usia 50 tahun 5 hari; lebih tua dari usianya ketika menerima penghargaan gelar kehormatan dari Ratu Inggris. Alasan di balik performanya yang terjaga adalah pola hidup dan pola makan yang sangat ketat.
Matthews tidur sebelum pukul sembilan malam dan bangun sebelum pukul enam pagi nyaris setiap hari. Ia sarapan pinggiran roti dan setelahnya lari pagi di pantai; sebagai tambahan, Mathews juga lari sore di pantai tiga kali sepekan. Menu makan siangnya jus wortel. Menu makan malamnya steak dan salad. Bepergian sehari-hari Matthews jalani dengan berjalan kaki. Ia puasa setiap Senin. Semuanya ia lakukan atas dasar cinta kepada sepakbola.

"Saya ingin bermain selama mungkin karena saya jatuh cinta kepada permainan ini dan sangat antusias,” ujar Matthews. “Saya mendapat masukan-masukan bagus dan mulai lebih banyak makan salad dan buah, dan setiap Senin saya tidak makan apa-apa. Hanya satu hari, setiap Senin, namun itu membuat saya merasa lebih baik."

Masukan-masukan bagus yang Matthew maksud, tidak lain dan tidak bukan, adalah ajaran sang ayah, Jack Matthews, yang berprofesi sebagai tukang cukur dan petinju kelas bulu dan karenanya dikenal sebagai the Fighting Barber of Hanley. Jack Matthews melatih anak-anaknya untuk disiplin dan menjaga kesehatan. Kebiasaan Matthews berjalan kaki pun merupakan ajaran dari ayahnya.
Kembali ke perbincangan mengenai kemampuan Stanley Matthews menggiring bola, keahliannya, dengan sendirinya, menjadi pisau bermata dua. Para penonton menyukainya, namun rekan-rekannya tidak. Salah satu rekannya di Tim Nasional Inggris, Billy Wright, menyebut Matthews menyebalkan. Raich Carter menilai Matthews lebih jauh dari itu.

"Ia [Matthews] adalah bintang yang sangat individual sehingga walau ia adalah salah satu pemain terbaik di dunia, ia bukan pesepakbola yang baik," ujar Carter, salah satu pemain terbaik dalam sejarah Sunderland. "Ketika Stan mendapat bola di sayap, kita tidak tahu kapan bola akan kembali. Ia adalah pemain sayap yang sangat sulit diajak bermain bersama."

Daerah operasi Matthews terbatas di area sayap dan area sayap saja. Itu pun tidak sepanjang pinggir lapangan; Matthews tidak suka membantu pertahanan. Karena itu pula walau ia begitu ahli memainkan bola, Matthews hanya tampil dalam satu pertandingan di putaran final Piala Dunia. "Saya merasa Walter Winterbottom tidak menghargai gaya bermain saya," ujar Matthews. "Ia ingin sayap kanan ikut bertahan, tackle, dan membantu pertahanan. Itu bukan gaya bermain saya."

Meskipun begitu, meski ia tak memenangi Piala Dunia sekalipun, Matthews adalah salah satu legenda sepakbola. Legenda Britania Raya yang sempat dikenal di seluruh dunia karena kehebatan menggiring bolanya. Gaya hidupnya pun membuatnya berbeda dengan pesepakbola lain, yang mungkin tak ada lagi pesepakbola yang menjalani kesehariannya dengan penuh keteladanan bahkan hingga akhir hayatnya.(dtc)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel