-->

Awali Toleransi Jelang Hari Kemerdekaan dengan Ketegasan Penegakkan Hukum

SAPA (JAKARTA) - Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-71 Proklamasi 17 Agustus 1945, setiap desa dan kelurahan biasanya mempunyai agenda mempercantik gapura di setiap ujung jalan dengan simbol-simbol nasionalisme, seperti bendera, bambu runcing dan burung garuda. Tak lupa tetap memajang pita tulisan Bhineka Tunggal Ika yang dicengkeram kuat kaki Burung Garuda.

Sebagian besar pelajar juga paham makna kalimat yang diambil dari Buku Sutasoma karya Mpu Tantular itu. Yang berarti banyak perbedaan yang melekat pada setiap manusia Indonesia, baik suku, agama, dan haluan politik, tetapi semua tetap satu untuk Indonesia.

Ini seharusnya sudah selesai dalam perjalanan 71 tahun Indonesia, namun masih saja ada sekelompok orang yang melupakan itu. Masih ada yang mudah terhasut untuk membela kelompoknya secara berlebihan dengan menyakiti kelompok lainnya, seperti yang muncul dalam bentrokan baru-baru ini di Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara.

Hanya persoalan dari pengeras suara di masjid yang diprotes seorang warga, kemudian berujung pada aksi pembakaran rumah penduduk dan rumah ibadah umat Budha, bahkan ditunggangi kelompok lain untuk menjarah. Kemajuan teknologi melalui media sosial membuat sebuah peristiwa dengan cepat menyebar dengan bumbu-bumbu yang mampu menjadi "pembakar" emosi warga untuk meluapkan amarah.

Kini polisi sudah menetapkan 17 tersangka pelaku perusakan dan pencurian, empat di antaranya setelah dilakukan tes urine positif menggunakan naroba.

Polisi masih terus mencari aktor-aktor yang telah memprovokasi warga melalui media sosial yang berisi penyebaran ujaran kebencian. Polisi juga mencari mereka yang memanfaatkan peristiwa itu untuk menciptakan kerusuhan lanjutan.

Masyarakat mudah terprovokasi menjadi sekumpulan orang yang lupa ada nilai-nilai toleransi yang harus dijaga dan akhirnya bergerak menjadi beringas dan melupakan juga ajaran agama yang mereka anut. Merasa paling benar maka dengan seenaknya merusak, membakar, dan menjarah, seakan setiap detik dari aksi mereka luput dari perhatian Tuhan yang mereka sembah. Tuhan yang diyakini oleh mereka sebagai maha melihat, mendengar dan merasakan orang yang teraniaya.

Kasus serupa juga terjadi di tempat lain, seperti Tolikara, Papua, tahun 2015, juga di Ambon 1999-2002, dan Poso, Sulawesi Tengah, 1999. Semua akan tercatat dalam sejarah sebagai peristiwa yang melukai toleransi, khususnya antarumat beragama.

Jauh sebelum Kemerdekaan, penyebaran agama Islam saat masih ada Kerajaan Majapahit dan Padjajaran juga berlangsung damai dan hampir tidak tertulis adanya perang agama di bumi Nusantara saat itu. Perang yang ada lebih banyak karena perluasan wilayah kerajaan. Penduduk beragama Islam, Hindu dan Budha bisa hidup berdampingan. Demikian juga saat agama Nasrani masuk Nusantara sebelum Indonesia Merdeka. Jadi benih toleransi sudah tumbuh sejak lama dan menjadi modal perekat persatuan Indonesia.

Umat Islam Umat Islam sebagai penduduk mayoritas sangat menentukan nasib sikap toleransi bangsa ke depan. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan Islam membangun toleransi, Wahid Foundation bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia berusaha mencari tahu melalui sebuah survey.

Survei yang melibatkan 1.520 responden dari seluruh Indonesia ini untuk memetakan persepsi intoleransi dan kecenderungan radikalisme umat Islam di Indonesia.

Survei juga membantu mengindentifikasi faktor-faktor sosial keagamaan yang mempengaruhi persepsi intoleransi dan radikalisme di masyarakat.

Menurut AA. Nugroho, Manajer Riset Program Prioritas Wahid Foundation, hasil survei menunjukan bahwa sebagian besar responden tidak bersedia untuk bersikap radikal, sementara ada 7,7 persen responden menyatakan bersedia berpastisipasi untuk bersikap radikal.

Bahkan ada 0,4 persen dari total responden yang mengaku pernah berpartisipasi dalam kegiatan yang melibatkan kekerasan atas nama agama, seperti melakukan "sweeping", berdemonstrasi menentang kelompok yang dinilai menodai dan mengancam kesucian Islam atau melakukan penyerangan terhadap rumah ibadah pemeluk agama lain.

Hasil survei juga mengungkap faktor yang mempengaruhi secara langsung terhadap kencenderungan intoleransi dan radikalisme, yaitu terutama pemahaman agama Islam yang bersifat literalis atau harfiah.

Terkait dukungan atas NKRI, 82,3 persen responden menyatakan bahwa Pancasila dan UUD 1945 adalah dasar yang terbaik untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. "Ini menunjukan bahwa kita punya modal besar untuk mengatasi intoleransi di Indonesia. Untuk itu diperlukan kerja sama semua pihak," ujar Direktur Wahid Intitute Yenny Wahid.

Menurut Yenny, negara harus secara tegas mengawal semangat toleransi dengan melakukan penegakan hukum yang tegas bagi pelaku aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama, termasuk pelaku tindakan ujaran kebencian (hated speech) di muka umum.

Ia juga meminta pemerintah daerah yang merupakan ujung tombak negara untuk memastikan perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan warga negara. Untuk mengatasi kencenderungan intoleransi di kalangan umat Islam, diperlukan lebih banyak narasi damai yang disebarkan melalui berbagai kampanye yang sejuk sekaligus progresif.

Kepala Kantor Staf Kepresidenan Teten Masduki menilai hasil survei ini menunjukkan masih banyak umat Islam yang bersikap toleran dan menolak radikalisme, bahkan dukungan terhadap pancasila dan demokrasi masih cukup tinggi.

"Ini tantangan bagi kita bagaimana mendekatkan pemahaman Pancasila dan demokrasi, dengan praktek-praktek toleransi," katanya.

Namun angka 7,7 persen umat Islam yang bersedia berpartisipasi melakukan radikalisme ditambah 0,4 persen yang sudah pernah melakukan aksi kekerasan atas nama agama menjadi pekerjaan rumah tersendiri karena jika dihitung jumlahnya cukup besar. Jika jumlah penduduk 200 juta dan 86 persen merupakan umat Islam maka ada 14 juta umat Islam yang berpotensi mudah terprovokasi untuk melakukan kekerasan atas nama agama.

Ini juga menjadi tugas alim ulama di pelosok negeri untuk terus menyebarkan Islam yang membawa kedamaian dan pemberi rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta atau "rahmatan lil alamin".

Terkait potensi yang tinggi itu, Teten menilai pemerintah punya kemampuan selama ini untuk mengatasi radikalisme melalui penegakan hukum dan keadilan.

"Kami akan mengakomodasi karena ini sangat penting bagi pemerintah untik mengambil kebijakan dalam bidang pendidikan, dalam penegakan hukum, dalam membagun relasi dengan masyarakat, termasuk dalam hubungan internasional," ujar Teten.

Menurut dia, dunia masih berharap Indonesia mengambil peran aktif di dunia internasional dalam mempromosikan Islam yang toleran dan Islam yang moderat.

"Banyak negara yang gagal menjadi negara maju itu karena gagal menjaga toleransi dalam masyarakat," katanya yang mengajak semua ormas keagamaan juga merajut kerukunan antarumat beragama.

Saatnya semua ormas bergandengan tangan, tidak hanya saat muncul kerusuhan, tetapi yang lebih penting meredam setiap potensi gesekan termasuk menerima dengan bijak setiap informasi dari media sosial dan berupaya meredam jika informasi yang beredar sudah menjurus provokasi.

Ujaran kebencian yang mudah ditemukan di media sosial menjadi bara yang terus membakar sikap intoleransi sehingga sudah saatnya kepolisian juga secara aktif mengamati isu-isu yang hangat di media sosial. Perlu juga dilibatkan ormas keagamaan untuk meredam setiap konflik yang muncul, apalagi saling serang keyakinan seseorang.

Saat ini setiap berita dari media online selalu memunculkan komentar yang pro dan kontra bahkan terkadang ditemukan ujaran kebencian yang dilontarkan secara bebas, namun faktanya hanya sedikit yang terjerat. Ini sama saja terus-menerus memelihara sikap intoleransi.

Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian secara tegas memerintahkan setiap polda untuk tidak membiarkan media sosial menjadi ajang provokasi dan segera memproses secara hukum para penyebar ujaran kebencian. Bahkan untuk kasus Tanjungbalai sudah bertekad untuk menyeret semua pihak yang ikut memprovokasi saat kerusuhan atau setelah kerusuhan.

Salah satu warga yang merasakan tindakan tegas adalah AT (41), warga Jagakarsa, Jakarta Selatan, yang ditangkap polisi sebagai tersangka penyebar ujaran kebencian di media sosial terkait aksi ricuh di Tanjungbalai itu.

Tersangka ditangkap di kediamannya, Selasa (2/8) pagi setelah Polda Metro Jaya membuat satgas gabungan dan melakukan patroli cyber untuk mencari para pelaku penyebar kebencian.

AT menuliskan ujaran kebencian tersebut pada Minggu (31/7/2016) lalu di akun Facebooknya. Dia menulis status terkait kerusuhan di Tanjungbalai, bahkan mengajak umat Muslim mengulangi tragedinya kerusuhan di tahun 1998.

Akibat ulahnya itu, tersangka diancam dengan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) dan atau Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan atau Pasal 156 KUHP dan atau 160 KUHP dengan ancaman maksimal hukuman penjara selama enam tahun.

Masyarakat berharap polda lain juga mulai menangani secara serius setiap komentar di media sosial yang menyebarkan kebencian bahkan berpotensi menyulut kerusuhan.

Ini menjadi peringatan bagi masyarakat dan sudah saatnya setiap individu mampu mengontrol emosi dalam membuat pernyataan di media sosial agar tidak menimbulkan petaka yang lebih meluas. (ant)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel