-->

Yahamak Kecam Tindakan KDRT

Arnold Ronsumbre

SAPA (TIMIKA) - Wakil Direktur Yayasan Hak Asasi Manusia (Yahamak) Arnold Ronsumbre mengatakan, pihaknya mengecam tidak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya akibat emosi yang tidak terkontrol, hingga menyebabkan nyawa istri melayang.

Sebelumnya, Arnold sangat berterima kasih kepada pihak media karena selalu mengangkat persoalan KDRT. Sehingga dari situ Pemkab Mimika dan pihak Kepolisian bisa mengambil suatu tindakan tegas kepada pelaku tindak KDRT agar jera, serta tidak melakukan hal yang sama dikemudian hari.

Namun, himbauan yang sering dimuat di media massa, terkesan tidak memiliki tanggapan positif dari masyarakat, sehingga pihaknya yang peduli terhadap KDRT menjadi bingung atas hal-hal yang terjadi, apalagi terkait dengan KDRT.

"Saya bingung dengan himbauan yang kita berikan, jadi ini harus ada bukti nyata," ujar Arnold, saat ditemui Salam Papua diruang kerjanya kantor Yahamak, Jalan C Heatubun, Selasa (23/8).

Menurutnya, kasus KDRT yang terjadi di Mimika tergolong sangat tinggi dibandingkan dengan daerah lain di Papua. Dari situ diperlukan adanya penegakan hukum positif bagi pelaku tindak kekerasan, sehingga angka kekerasan di Mimika yang tinggi dapat ditekan.

"Kasus yang terjadi di Mimika ini sungguh luar biasa dibandingkan dengan Kabupaten lain di Papua," jelasnya.

Kasus kekerasan yang terjadi di Mimika ini, telah disuarakan oleh pihak agama, pihak adat hingga organisasi bahkan media, namun masyarakat tidak mengetahui hal tersebut. dari situlah setiap kekerasan yang terjadi di Mimika sering berakhir dengan kematian, dan tindakan seperti itu bukan merupakan adat dari orang Papua.

"Jadi kasus KDRT ini kita sudah bicara di gereja, masjid, maupun adat, tapi orang tidak pahami itu. Jadi saya mau sampaikan bahwa adat orang Papua harus duduk bicara, bukan kekerasan seperti itu," tegasnya.

Oleh sebab itu, Arnold menghimbau agar segala bentuk KDRT harus diselesaikan menggunakan hukum positif, karena jika mengikuti jalur mediasi maka para pelaku akan terus melakukan aksinya, karena menggunakan hukum adat akan diakhiri dengan pembayaran denda.

"Jadi kalau ada masyarakat yang melakukan tindakan kekerasan harus melalui hukum positif dan tidak mengikuti jalur mediasi, karena tidak ada efek jera dan pasti mereka akan buat ulang lagi," tutupnya. (Ricky Lodar).

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel